Oleh: Dodi Kurniawan/Ketua Cabang Wanasigra
Senin, 27 Mei 2024, Jamaah Muslim Ahmadiyah akan menasyakuri satu abad lebih Khilafah Ahmadiyah — sebuah nikmat teramat besar — yang sudah mereka raih sejak tahun 1908. Apakah Khilafah Ahmadiyah itu? Mari kita tapaki alur pemaknaanya!
Dalam Sunan at-Tirmidzi diriwayatkan:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً.
Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Masa kekhalifahan dalam umatku (yakni _Khilafatur Rasyidah_) akan berlangung selama 30 tahun.”
Sungguh luar biasa, sejarah membuktikan demikian. Kekhilafahan Hadhrat Abu Bakar berlangsung selama 2 tahun, Hadhrat Umar 10 tahun, Hadhrat Utsman 12 tahun, dan Hadhrat Ali 6 tahun. Jadi genaplah nubuatan 30 tahun masa kekhalifahan setelah Rasulullah saw. tersebut.
Namun, kendati demikian, 30 tahun tersebut — dan bila ditambahkan dengan masa nubuwah Nabi Muhammad saw yang berlangsung selama 23 tahun, sehingga keseluruhannya menjadi 53 tahunan — sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat setara dengan 300 tahun dalam keutamaannya.
Riwayatnya berbunyi begini: _Khairul qurūni qarnī, tsummal-ladzīna yalūni, tsummal-ladzīna yalūnahum_, yakni bahwa sebaik-baik masa adalah masa di mana aku hidup, kemudian masa orang-orang sesudahku, kemudian masa orang-orang yang hidup sesudah mereka. Redaksi riwayatnya beragam. Termasuk _al-qurūn_ dalam riwayat lainnya disebut sebagai _an-nās_. Kata _al-qurūn_ (jamak dari _qarn_) salah satunya mengandung arti abad, yakni hitungan seratus tahun.
Implikasi dari riwayat di atas menunjukkan betapa hebat _quwwah qudsiyyah_ (daya pensucian) Nabi Muhammad saw sehingga 30 tahunan masa kekhalifahan beliau setara dengan 300 tahun. Bahkan, bila dilihat dari Masa Keemasan Islam jumlah abad itu terlampaui, yakni 600 tahun atau enam abad. Mulai abad ke-8 hingga 13 Masehi. Dua kali lipat dari yang ditetapkan Sang Nabi saw.
Lalu, bagaimana dengan Khilafah Ahmadiyah? Yakni sistem kekhalifahan yang sudah berjalan selama 116 tahun dalam silsilah Jamaah Muslim Ahmadiyah sejak tahun 1908.
Konteks logikanya begini. Selepas tiga abad terbaik sebagaimana disebutkan dalam riwayat di atas, umat Islam akan mengalami kemunduran. Sebuah era kekelaman yang dalam riwayat masyhur digambarkan sebagai masa terbangnya iman ke bintang Tsurayya. Namun, _quwwah qudsiyyah_ Nabi Muhammad saw atas izin Allah SWT kembali bangkit melalui wujud yang telah beliau saw sendiri nubuatkan kedatangannya, yakni wujud Imam Mahdi atau Isa Al-Masih yang dijanjikan.
Adapun skema kebangkitannya kita jumpai dalam riwayat berikut ini – sebuah riwayat yang termasuk paling banyak diperdebatkan para alim, yakni:
“تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا، فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ.” ثُمَّ سَكَتَ
Esensi dari riwayat ini adalah bahwa kekhalifahan berdiri di atas pola kenabian. Tidak ada khilafah kecuali mengikuti kenabian sebelumnya. Bila Khilafah Rasyidah mengikuti kenabian Rasulullah saw, maka kekhalifahan yang dijanjikan akan berdiri di kemudian hari pun harus demikian. Hanya saja, karena Nabi Muhammad saw adalah Khatamun Nabiyyin, maka tidak mungkin ada lagi nabi pembawa syariat setelah beliau. Lalu bagaimana kita menalar adanya nubuatan tentang akan adanya kekhalifahan dengan pola kenabian setelah Nabi Muhammad saw?
Hanya ada dua alternatif jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, Nabi Muhammad saw akan kembali dibangkitkan di akhir zaman — dan itu bertentangan dengan hukum Al-Qur’an bahwa manusia yang telah meninggal tidak untuk dihidupkan kembali di dunia ini — sehingga alternatif ini tidak bisa diterima. Kedua, kebangkitan kembali Nabi Muhammad saw dalam sosok yang menyerupai beliau sebagai hasil dari kepengikutan sempurna sang umat tersebut kepada Sang Nabi. Pola kepengikutan ini lazim disebut _fanā fī al-Rasūl_ (meleburkan diri dengan mengikuti uswah Rasulullah saw) yang kemudian menempatkan sosok yang menempuh tirakat ini ke dalam kedudukan sebagai _Nabi Ummati_. Seorang dari kalangan umat Nabi yang memperolah citra kenabian dalam taraf yang mendekati kesempurnaan laksana bulan yang menyerap cahaya matahari lalu menjadikan dirinya sendiri bercahaya.
Sosok inilah yang mendapat kedudukan istimewa disebut oleh Nabi Muhammad saw dalam riwayat tadi sebagai penyandang jubah _nubuwwah_ yang melaluinya sistem kekhalifahan dalam Islam kembali akan berlangsung. Dalam bangun pemikiran dan pemahaman seperti inilah Jamaah Muslim Ahmadiyah menyakini kedudukan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as beserta kekhalifahan yang mengikutinya.
Penamaan Ahmadiyah sebagai identitas jamaah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as dinisbatkan kepada salah satu dari setidaknya lima nama yang disandang Nabi Muhammad saw, *Ahmad*.
Riwayatnya seperti dikutip oleh Imam Bukhari berikut:
“Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad, aku *Ahmad*, aku al-Mahdi yang sebab diriku Allah menghapus kekafiran, aku al-Hasyir tempat manusia akan berkumpul, dan aku al-Aqib.”
Untuk itu, penyebutan “Khilafah Ahmadiyah” semakin mengukuhkan posisi kekhalifahan di akhir zaman ini tidak lain dan tidak bukan dari pencerminan “Khilafah Rasyidah”. Bila Nabi Muhammad saw adalah Mursyid dan Rasyid yang kemudian dinisbati oleh kekhalifahan setelahnya, maka Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mahdi — yang diberi petunjuk di atas jalan Muhammad saw. untuk menempuh corak ke-Ahmad-an, maka kekhalifahan setelahnya dinisbatkan kepada corak ke-Ahmad-an tersebut, yakni Khilafah Ahmadiyah.
Di atas keyakinan inilah para Ahmadi memandang sistem kekhalifahan mereka dan hanya inilah _idea_ kekhalifahan yang ada dalam benak dan hati mereka. Tertolaklah semua tuduhan yang bertentangan dengan keyakinan para Ahmadi tersebut. Dan bila atas keyakinan ini para Ahmadi dituduh sesat, maka dengan suka cita mereka menerimanya.
Wanasigra, 24/05/2024
