بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِِ

PPMA

Website Resmi Majelis Ansharullah
Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Proyek Pengejaran Kebahagiaan, Proyek Abadi Umat Manusia ?

“Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi" -Ali bin Abi Thalib ra

Ditulis oleh :

Pencarian paling ultima dari manusia adalah pencarian akan kebahagiaan. Mungkin tidak semua, tetapi paling tidak itulah yang dipercaya sebagian besar umat manusia. Pertanyaannya, apakah lantaran dipercayai sebagian besar manusia, benarkah tujuan hidup kita di dunia adalah untuk pengejaran kebahagiaan ? Apakah ini merupakan proyek abadi yang harus mewujud dalam hidup manusia, meskipun dalam kenyataannya banyak kalangan yang mengaku tidak pernah mendapatkannya ?

Proyek pengejaran kebahagiaan seakan-akan diterima menjadi sebuah aksioma. Dua ribu tiga ratus tahun lalu, Aristoteles, menyatakan tujuan atau makna tertinggi manusia adalah kebahagiaan yang disebut dalam bahasa Yunani sebagai “eudaimonia.” Arti kata dari eudaimonia sendiri bagi bangsa Yunani adalah kesempurnaan atau lebih tepatnya ‘memiliki daimôn yang baik’. Daimōn yang dimaksud di sini adalah jiwa, jiwa yang baik atau jiwa yang berbahagia.[1]

Saya tidak akan mengelaborasi kebahagiaan versi Aristoteles, yang tentu saja butuh pembahasan lebih khusus lagi, intinya, tema kebahagiaan tidak pernah habis diperbincangkan, dari setiap tokoh sepanjang zaman, bahkan, Founding Fathers Amerika Serikat merasa perlu mencantumkannya dalam Deklarasi Kemerdekaan mereka. Kata-kata ini tercantum tegas, sebagai salah satu dari tiga hak yang tidak dapat dicabut dalam diri manusia, yakni “Life, Liberty and the pursuit of Happiness.” Lagi-lagi pertanyaannya, benarkah demikian ? Apakah kebahagiaan harus dan mesti dicari dan dikejar ?

Sepeti juga tema-tema  lainnya, selalu ada pro dan kontra. Selalu ada yang setuju, dan di pihak yang lain ada yang kontra atau tidak sepakat. “The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well”  (Tujuan hidup bukanlah untuk bahagia. Menjadi berguna, terhormat, berbelas kasih, membuat perbedaan bahwa Anda telah hidup dan hidup dengan baik) begitu kurang lebih terjemahannya. Pernyataan yang dibuat penyair dan penulis esai terkenal asal Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson ini membuktikan bahwa tidak semua sepakat bahwa pengejaran kebahagiaan menjadi tujuan utama hidup manusia.

Ralph Waldo Emerson tidak sendirian. Saya menemukan beberapa tokoh lain yang hampir senada. Forget about likes and dislikes. They are of no consequence. Just do what must be done. This may not be happiness but it is greatness.” (Lupakan soal suka dan tidak suka. Keduanya bukanlah konsekuensi. Kerjakan apa yang harus dikerjakan. Mungkin itu bukan sesuatu yang membahagiakan, namun disitulah letak kebesaran ) ujar George Bernard Shaw,  kritikus, novelis, orator Irlandia yang menetap di Inggris.

Jadi, jangan-jangan karena Anda terlalu fokus mengejar kebahagiaan, Anda menetapkan standard tertentu tentang kebahagiaan, Anda justru tidak pernah menemukannya. Karena setiap orang dapat memberi tahukan apa itu kebahagiaan, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan universal terkait apa yang dimaksud dengan kebahagiaan. Definisi yang paling sederhana berasal dari Daniel Kahneman, seorang psikolog peraih Nobel. Menurutnya kebahagiaan adalah perasaan gembira sementara yang kita dapatkan ketika kita melakukan suatu hal yang menyenangkan.[2]

Nah, di sini ada penekanan kata “sementara.” Seperti kita ketahui, sementara adalah tidak selamanya, tidak ajeg, dalam jangkauan waktu yang terbatas. Dus, definisi Kahneman menurut hemat saya lebih tepatnya kepuasan, bukan kebahagiaan. Tapi sekali lagi, definisi bisa bermacam-macam, subjektif dan ukuran kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Yang menjadi masalah kemudian, ketika kita memaksakan dan mencoba menerapkan standard ukuran kebahagiaan orang lain terhadap diri kita. Di sinilah kemudian muncul ketidakpuasan, kekecewan karena ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan.

“Kau tak akan bahagia jika kau terus mencari kebahagiaan itu seperti apa. Kau pun tak akan pernah hidup jika kau masih terus mencari makna kehidupan” Kata Albert Camus. Camus adalah seorang filsuf yang memandang kehidupan manusia sebagai hal yang absurd, dengan kata lain manusia tidak mengerti apa itu kehidupan dan untuk apa sesungguhnya manusia hidup. Lebih suram ketimbang Camus, adalah Arthur Schopenhauer, filosof Jerman yang menyatakan bahwa, “every man is born with the fallacious idea that the destiny of this life is to be happy.” (Setiap orang dilahirkan dengan gagasan keliru bahwa tujuan hidup ini adalah menjadi bahagia).

Jika pendapat Camus dan Schopenhauer terdengar suram dan penuh pesimistik, namun menurut pendapat saya, penekanan mereka  adalah agar kita tidak mengejar mati-matian suatu pepesan kosong. Maksudnya, mengejar sebuah konsep yang berada di menara gading, monumen “kebahagiaan” yang terlalu ketinggian, sakral dan untouchable. Karena faktor-faktor inilah kemudian kebahagiaan menjadi sulit diraih atau didapatkan. Pahadal sejatinya, kebahagiaan didapatkan dari hal-hal sederhana dan kecil. “Ingatlah ini, hanya dibutuhkan sesuatu yang kecil untuk membuat kebahagiaan hidup” ujar Marcus Aurelius.

The Tyranny of the Shoulds

Saya pernah mengikuti kajian atau kuliah singkat dari pakar Ilmu Komunikasi, almarhum KH. Dr.Jalaluddin Rakhmat, MS.c di kisaran 2019 lalu. Kuliah yang bertemakan “Filsafat sebagai The Way of Life.” Salah satu pesannya yang masih terngiang-ngiang dalam pikiran saya adalah perkatannnya bahwa “manusia selalu bergerak dari penderitaan mengejar kebahagiaan dan dari kebosanan setelah kebahagiaan yang dikejar tercapai.”

Selain kata-kata tersebut, pesannya yang lain adalah soal kekecewaan dan penderitaan. Manusia selalu menderita, frustasi dan kecewa ketika dia selalu berharap segala sesuatu harus seperti yang dia rencanakan. Inilah yang dimaksud Thoreau saat ia berkata, “The mass of men lead lives of quiet desperation” (banyak orang menjalani hidup dalam keputusasaan yang tak terceritakan). Di sinilah sebagian besar dari kita, atau bahkan saya sendiri sering ketika melamun muncul dalam benak kata-kata seperti ini, “seharusnya saya dulu pilih jurusan ini ketika kuliah dulu, tentu tidak akan sulit mencari pekerjaan seperti sekarang !” Atau, “semestinya dia tidak boleh mengatakan hal itu, jadi saya tersinggung.”

Kata-kata “seharusnya atau semestinya” adalah bentuk dari “tyranny of shoulds.” Pernyataan ini menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini harus berjalan sesuai dengan rencana atau agenda kita, padahal tidak. Kenyataannya, rencana yang kita buat seringkali melenceng dan tidak sesuai dengan harapan.

Dengan kenyataan yang mayoritasnya tidak sesuai dengan harapan, memaksa kita untuk mengembangkan sikap “nrimo.” Meminjam kata-kata dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, “apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi.”

Jadi, Perlukah Mengejar Kebahagiaan ?

Jika hal itu memang menjadi agenda atau tujuan hidup Anda, silakan, sah-sah saja untuk mengejarnya. Jangan sampai saya menulis hal terkait ini, proyek Anda malah “mangkrak” alias tidak selesai. Saya setuju seribu persen dengan isi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, bahwa “pursuit of happniness” adalah hak yang tidak boleh dicabut bersama dengan hak-hak lainnya.

Mengenai hasilnya ? Rayakan saja kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Kebahagiaan ketika misalnya Anda menerima gaji UMR, dan besoknya harus ludes lagi untuk bayar ini itu. Kebahagiaan ketika anak Anda melesakkan bola ke gawang lawan di pertandingan futsal, walaupun kemudian klub futsalnya kalah telak di akhir pertandingan. Menyadari bahwa kebahagiaan, kesedihan atau penderitaan silih berganti, dan tidak tinggal permanen, seperti diungkap Carl Jung,

“The sad truth is that man’s real life consists of a complex of inexorable opposites—day and night, birth and death, happiness and misery, good and evil. We are not even sure that one will prevail against the other, that good will overcome evil, or joy defeat pain. Life is a battleground. It always has been and always will be; and if it were not so, existence would come to an end.”

( Kebenaran yang menyedihkan adalah bahwa kehidupan manusia yang sebenarnya terdiri dari kompleks pertentangan yang tak terhindarkan—siang dan malam, kelahiran dan kematian, kebahagiaan dan kesengsaraan, kebaikan dan kejahatan. Kami bahkan tidak yakin bahwa yang satu akan menang melawan yang lain, bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan, atau kegembiraan mengalahkan rasa sakit. Hidup adalah medan pertempuran. Itu selalu dan akan selalu; dan jika tidak demikian, keberadaan akan berakhir ).

Jangan hindari rasa sakit, kekecewaan atau bahkan penderitaan. Ini adalah hal-hal yang akan sering Anda temui dalam hidup ini. Suka atau tidak suka, Ia bisa menghampiri kapan saja, tetapi yang paling penting adalah respon kita terhadapnya. Sebab hidup tidak melulu soal manis, keceriaan dan kesenangan belaka. Bagian yang pahit, suram, gelap memainkan peran yang tidak sedikit bagi pertumbuhan diri dan jiwa Anda. Penyintas Holocaust, Victor Emil Frankl menulis dalam buku luar biasanya, “Man’s Search for Meaning” demikian, “Man’s main concern is not to gain pleasure or to avoid pain but rather to see a meaning in his life. That is why man is even ready to suffer, on the condition, to be sure, that his suffering has a meaning.” (Perhatian utama manusia bukanlah untuk mendapatkan kesenangan atau menghindari rasa sakit, melainkan untuk melihat makna dalam hidupnya. Itulah sebabnya manusia bahkan siap untuk menderita, dengan syarat, untuk memastikan bahwa penderitaannya memiliki arti).

Perspektif Islam dan Ahmadiyah

Lalu bagaimana perspektif Islam tentang kebahagiaan ? Nash dalam Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tujuan Allah Ta’ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

Tetapi Islam adalah agama yang praktis. Tidak melarang umatnya untuk memperoleh kebahagiaan di dunia ini, dengan catatan, dalam hal apapun tidak berlebihan. Dalam suatu riwayat diceritakan sahabat Rasulullah SAW yang bernama Abu Dzar Alghifari ketika bertanya kepada Rasulullah SAW tentang bagaimana cara mencapai kebahagiaan. Rasulullah pun bersabda:

“Jika ingin mencapai kebahagiaan kerjakanlah hal berikut, perbaharui kapalmu, karena samudera yang akan diarungi sangat dalam dan luas. Siapkan bekalmu karena perjalanan yang kau lalui begitu jauh. Turunkan bebanmu karena bukit yang akan kau daki sangat tinggi dan sulit untuk didaki. Bekerjalah dengan ikhlas karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang terbersit dalam pikiran dan hatimu.”[3]

Sabda Nabi Saw tersebut sungguh filosofis, menjelaskan cara pengejaran kebahagiaan memakai bahasa perumpamaan mengarungi samudera kehidupan dengan sebuah kapal. Sementara kita mengetahui bahwa di samudera ada angin dan ombak yang membantu agar kapal melaju, tapi ada juga angin dan ombak ganas yang bisa menenggelamkan kapal tersebut. Inilah yang disebut sebagai ujian, begitu pula dengan hidup manusia. Lebih lanjut, pendiri Jema’at Ahmadiyah, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda :

“Aku tidak melarang kamu berusaha mencari dan memperoleh kebahagiaan duniawi, melainkan kamu jangan mengikuti orang-orang yang memandang dunia ini sebagai segala-galanya. Hendaknya di dalam tiap sesuatu yang kamu kerjakan baik yang bersangkutan dengan dunia maupun yang bertalian dengan agama, kamu terus memohon kepada Tuhan supaya Dia menganugerahimu kekuatan serta taufik. Akan tetapi tidaklah cukup hanya dengan bibir saja, melainkan kamu hendaknya benar-benar percaya, bahwa setiap berkat turun hanya dari langit. Kamu baru dapat menjadi orang saleh, apabila di dalam setiap pekerjaan dan di dalam setiap kesulitan yang kamu hadapi, sebelum kamu mengatur rencanamu kamu menutup pintu kamarmu, lalu merebahkan dirimu di hadapan singgasana Ilahi dan meratap bahwa kamu sedang ditimpa kesulitan dan memohon karunia-Nya untuk mengatasi kesulitan itu”(Bahtera Nuh h.42-43).

Suka, duka, kesenangan dan penderitaan silih berganti. Itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Khalifatul Masih II, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad rh, dalam sebuah Khutbah Nikah, pada 2 Juli 1934 menyatakan,

“Tujuan kita bukanlah larut dalam suka ataupun duka; baik itu kita meraih kehormatan ataupun kehinaan. Melainkan, kita harus melihat apa yang Tuhan kehendaki dari kita ? Lalu, dalam bentuk apapun Dia hendak menempatkan kita, di dalamnya kita harus bahagia.”


[1] Nugroho, Benito Cahyo, Eudaimonia: Elaborasi Filosofis Konsep Kebahagiaan Aristoteles dan Yuval Noah Harari, Focus, Vol. 1, No. 1 (2020), pp. 7~14

[2] https://satupersen.net/blog/mencari-kebahagiaan-untuk-bisa-bahagia-stop-sekarang

[3] https://www.babad.id/agama/pr-3643477474/4-cara-mencapai-kebahagiaan-menurut-nabi-muhammad-saw

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Artikel lain

Opini
Ahmad Nursalam

MENGAPA PERLU ADA AHMADIYAH?

Oleh: Dodi Kurniawan/Ketua Cabang Wanasigra Apa sih urgensi keberadaan Ahmadiyah dalam dunia Islam? Bukankah Ahmadiyah malah hanya menambah banyaknya golongan dalam Islam saja? Mari kita

Read More »