بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِِ

PPMA

Website Resmi Majelis Ansharullah
Jemaat Ahmadiyah Indonesia

PUASA: Perintah, Sejarah & Hikmahnya

Ditulis oleh :

Zafar Ahmad Khudori: Kebumen: 12/3/2024

Allah s.w.t. berfirman:

یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الصِّیَامُ کَمَا کُتِبَ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ

Tafsir Al-Jalalain (karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi) menerjemahkan dan menafsirkan Ayat tersebut sebagai berikut:

یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الصِّیَامُ کَمَا کُتِبَ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
—> di antara umat manusia

لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ

agar kamu bertakwa
—> maksudnya menjaga diri dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan.

Ayat tersebut membahas beberapa hal yaitu: perintah, definisi puasa, sejarah dan hikmah puasa. Mari kita membahas satu per satu.

PERINTAH

Ayat ini diawali dengan menyeru:
Allah s.w.t. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
Yaa ayyuhal-la-dziina aamanuu

(hai orang-orang yang beriman)
menjelaskan adanya perintah Allah s.w.t. kepada orang-orang yang beriman.
Siapakah orang-orang yang beriman itu?
Allah s.w.t. berfirman [QS 49/Al-Hujarat: 15]:

قَالَتِ اْلأَعْرَابُ ءَامَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ اْلإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِن تُطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ لاَيَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Orang-orang Arab gurun berkata, “Kami telah beriman” (aamannaa).
Katankanlah, “Kamu belum beriman” akan tetapi hendaknya kamu berkata, “Kami telah menyerahkan diri (aslamnaa), karena iman belum masuk ke dalam hatimu.”
Tetapi, jika kamu menaati Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak mengurangi sesuatu dari amal-amalmu.
Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.

Malik Ghulam Farid dalam Tafsir-nya [Catatan no. 2798] menjelaskan bahwa sekalian orang Muslim merupakan bagian tidak terpisahkan dari persaudaraan dalam Islam memeberikan hak sama kepada putra-putra padang pasir buta huruf dan biadap, seperti halnya kepada penduduk kota kecil maupun kota besar yang beradab dan berbudaya; hanya oleh Islam dianjurkan kepada mereka yang disebut pertama, agar mereka berusaha lebih keras untuk belajar dan meresapkan ke dalam dirinya ajaran Islam dan membuat ajaran-ajaran itu menjadi pedoman hidup mereka.

Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَارِزًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِيمَانُ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكِتَابِهِ وَلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ الْآخِرِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ

Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Pada hari Rasulullah s.a.w. berada di tengah-tengah para sahabat-Nya, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya bertanya, ‘Wahai Rasulullah apakah Iman itu?’

Beliau (s.a.w.) menjawab, ‘(Iman ialah) engkau beriman kepada Allah (s.w.t.), para Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Hari Pertemuan dengan-Nya, para Rasul-Nya dan beriman kepada kebangkitan terakhir.’ Laki-laki tersebut bertanya kembali, ‘Wahai Rasulullah! Apakah Islam itu?’

Beliau menjawab, ‘Islam yaitu engkau beribadah kepada Allah s.w.t. dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, melaksanakan Shalat yang diwajibkan-Nya, menunaikan Zakat yang diwajibkan dan berpuasa di bulan Ramadhan.’

PUASA

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Kutiba ‘alaikumush-shiyaam
(puasa diwajibkan atasmu).

Apakah Puasa Itu?

Para Ahli di bawah ini menyepakati definisi puasa yang serupa:

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. [1998: 10)] juga menjelaskan bahwa perkataan shoum dalam bahasa Arab berarti menahan diri.

Hudhari Bik [1980: 95] menjelaskan bahwa arti puasa menurut bahasa Arab adalah mengekang dan meninggalkan sesuatu. Dari inilah timbulnya pengertian yang dikenal yaitu mengekang dua syahwat (yaitu makan-minum dan hubungan khusus pria dan wanita).

Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fikih Sunnah” Jilid 3 [1994: 161] dengan merujuk kepada QS 19/Maryam: 27 menjelaskan bahwa pada umumnya shiyam atau berpuasa itu berarti menahan. Sedangkan yang dimaksud (shiyam/puasa) menurut istilah ialah menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan disertai niat.

Prof. DR. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya “Pedoman Puasa” (1990: 53) mendefinisikan ash-shiyam = puasa, yaitu menurut lughah (bahasa) ialah menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah ulama Syara ialah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, mulai dari fajar hingga maghrib karena menghadap kepada Allah dan untuk menyiapkan diri supaya bertakwa kepada-Nya dengan jalan memperhatikan Allah dan mendidik kehendak.

SEJARAH
Puasa Sebelum Islam

Selanjutnya Allah s.w.t. berfirman:

کَمَا کُتِبَ عَلَی الَّذِیۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ
Kamaa kutiba ‘alal-la-dziina ming-qob-likum
(sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu).

Pada bagian ini Allah s.w.t. mengingatkan bahwa puasa juga sudah diwajibkan kepada umat terdahulu sebelum umat Islam.

Puasa dalam Kitab Perjanjian Lama

Dalam Kitab Perjanjian Lama kita dapati informasi sebagai berikut:

Keluaran 34:23: Maka Musa adalah di sana serta dengan Tuhan empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tiada ia makan roti dan tiada ia minum air, maka disuratkannya segala firman perjanjian, sepuluh firman itu, di atas loh batu itu.

Imamat 16:29: Bermula, maka inilah menjadi bagimu suatu hukum yang kekal selama-lamanya: Bahwa pada bulan yang ketujuh dan pada sepuluh hari bulan itu hendaklah kamu merendahkan hatimu dengan berpuasa, janganlah kamu berbuat barang sesuatu pekerjaan, baik kamu anak bumi, baik orang dagang yang duduk menumpang di antara kamu.

Mazmur 35:13: Adapun akan daku, pada masamereka itu sakit aku berpakaikankain karung dan aku memenatkanhatiku dengan berpuasa, dan doakupunkembalilah ke dalam dadaku.

Yesaya 58:4: Bahwasanya kamu berpuasa hendak berbantah-bantah dan berkelahi dan bergocoh-gocoh dengan amarah; adapun puasa seperti yang kamu buat sekarang ini tiada boleh menyampaikan bunyi serumu kepada tempat yang tinggi itu.

Daniel 9:3: Maka menengadahlah aku kepadaTuhan Allah, hendak mempersembahkandoa dan pemohon sambil berpuasa danberpakaikan kain karung dan abu.

Yoel 2:12: Tetapi sekarang juga firman Tuhandemikian: Tobatlah kamu kepada-Kudengan segenap hatimu serta denganpuasa dan dengan tangis dan ratap.

Puasa dalam Kitab Perjanjian Baru

Dalam Kitab Perjanjian Baru kita dapati informasi sebagai berikut:

Matius 6:16-18 & 17:20-21
6:16. Dan apabila kamu puasa, janganlah kamu menyerupai orang munafik dengan muramnya; karena mereka itu mengubahkan rupa mukanya, supaya kelihatan pada orang mereka itu puasa. Dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu, tiadalah pahalanya bagi mereka itu.
6:17. Tetapi engkau ini, apabila engkau puasa, minyakilah kepalamu, dan basuhlah mukamu,
6:18. supaya jangan tampak kepada orang engkau puasa, hanya tampak kepada Bapamu yang tiada kelihatan itu; maka Bapamu yang nampak barang yang tiada kelihatan itu, Ialah akan memberi pahala kepadamu.”
17:20. Maka kata Yesus kepada mereka itu, “Oleh sebab kurang imanmu, karena dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jikalau kamu menaruh iman sebesar biji sesawi, maka kamu berani mengatakan pada gunung ini: Pindahlah engkau dari sini ke sana, niscaya berpindahlah ia kelak; bahkan, tiada barang sesuatu pun yang mustahil padamu.
17:21. Tetapi sejenis ini dengan suatu pun tiada dapat keluar, hanyalah dengan doa dan puasa sahaja.”

Markus 9:29-32
29. Maka kata-Nya kepada mereka itu,
“Bangsa itu tidak boleh keluar dengan jalan apa pun melainkan dengan doa.”
Catatan:
Bandingkan dengan The Holy Bible: The Gideons International, 1976 hlm. 760:
And he said unto them, This kind can come forth by nothing, but by prayer and fasting.
Fasting artinya puasa.
30. Maka keluarlah mereka itu dari sana melalui Galilea, tetapi Yesus tiada mau seorang jua pun mengetahui.
31. Karena Ia mengajar murid-murid-Nya, serta berkata kepada mereka itu, “Anak manusia itu akan diserahkan ke tangan orang, lalu orang-orang itu akan membunuh Dia. Setelah Ia dibunuh oleh mereka itu, maka pada hari yang ketiga Ia akan bangkit pula.”
32. Tetapi tiadalah mereka itu mengerti perkataan itu, dan takutlah juga bertanya kepada-Nya.

Puasa Zaman Islam

Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. [Darsus No. 44/1992] menjelaskan bahwa sejauh yang saya selidiki terbukti bahwa Ramadhan pertama kali dilaksanakan pada tahun ke-2 Hijrah. Dan bukti ini tidak ada sanggahan tertulis dari kitab manapun. Dan pada bulan Ramadhan tersebut sedang terjadi Perang Badar, yang beberapa hari kemudian tiba hari Id dan orang-orang Islam telah merayakan Id pertama setelah perang selesai selagi luka-luka akibat perang belum pulih sepenuhnya.

Hudhari Bik (1980: 99) menjelaskan bahwa Rasulullah (s.a.w.) telah menentukan jumlah hari-hari puasa sunat di luar bulan Ramadhan dan difardhukannya puasa itu pada tahun ke-2 dari hijrah.

Prof. DR. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya itu (1990: 50) menjelaskan bahwa pada akhir Syaban tahun yang ke-2 dari hijrah, Allah (s.w.t.) menurunkan Ayatush-Shiyam yakni Ayat 184-186 Surah Al-Baqarah yaitu perintah mewajibkan puasa atas umat Islam supaya menyiapkan mereka menjadi orang-orang yang bertakwa.

HIKMAH: Tujuan

Ayat ini diakhiri dengan membahas tujuan puasa yaitu:

لَعَلَّکُمۡ تَتَّقُوۡنَ
La’al-lakum tat-taquun
(supaya kamu terpelihara dari keburukan rohani dan jasmani).

Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. dalam Tafsir Kabir-nya menjelaskan kata “Tattaquun” bahwa at-Taqwa ialah menjadikan diri menjaga dari apa yang ditakutkan.
Menurut istilah syariat: at-Taqwa ialah menjaga diri dari sesuatu yang membuat dosa [Al-Mufradat].

Dalam penjelasan:
ہُدًی لِّلۡمُتَّقِیۡنَ
Hudal-lil-mut-taqiin
[QS 2/Al-Baqarah: 3]
disebutkan isim fail dari kata kerja tattaquun.
Al-Muttaqi adalah isim fail dari kata ittaqa.
Al-Ittaqaa adalah adalah wazan ifti’aal dari kata waqaa.

Makna menurut bahasa sama dengan makna anqa-dza, shaana, khafi-zha dan ittaqaa artinya menyelamatkan atau menjaga [Al-Aqrab].

Dalam syariat, kalimat itu menunjukkan pencegahan dari keburukan, dan tidak dimutlakkan semata-mata takut.
Penjagaan itu adalah perisai atau setiap sesuatu yang oleh manusia dijadikan sarana untuk membentengi dirinya.
Dan sebagian berpendapat bahwa takwa kepada Allah maknanya menjadikan Allah Azza wa Jalla sebagai tameng/perisai untuk keselamatan.

Ilustrasi Takwa

Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. dalam “Tafsir Kabir”-nya itu mengilustrasikan bahwa ketika Abu Hurairah r.a. ditanya tentang takwa, beliau (r.a.) menjawab, “Apabila kamu menjumpai duri di jalan maka apa yang kamu lakukan pada waktu itu?”
Lalu orang yang bertanya itu menjawab, “Saya menghindarkan diri dari duri itu atau saya bersikap hati-hati dari duri tersebut.”

Lalu Abu Hurairah r.a. berkata, “Sikap demikian itulah yang dinamakan takwa yaitu menjauhi kemaksiatan dan berusaha menghindarinya dengan segala cara.”

Ibnu Mumtaz r.a. membuat beberapa bait syair yang lembut maknanya.
Beliau r.a. berkata:
Tinggalkanlah kecil dan besar semua dosa
Itulah takwa
Ibarat jalan yang penuh duri
Berjalan harus berhati-hati
Jangan remehkan barang yang kecil
Gunung disusun dari kerikil.

Sumber: “Falsafah Puasa dalam Berbagai Agama” oleh Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. dari “At-Tafsiir Al-Kabiir” (Bahasa Arab) Vol. II, halaman 365-379, diterjemahkan oleh: Drs. Abd. Rozaq.

(Editor) Malik Ghulam Farid dalam “Tafsir Singkat”-nya juga mengutip riwayat berikut: Ubayy bin Ka’ab, sahabat Rasulullah s.a.w. yang kenamaan, tepat benar menerangkan kata taqwa dengan memisalkan muttaqi sebagai seorang yang berjalan melalui semak-semak berduri. Dengan segala ikhtiar yang mungkin ia menjaga agar pekaiannya tidak tersangkut dan sobek oleh duri-durinya [Katsir].

Buah

Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. dalam bukunya “Apakah Ahmadiyah itu?” [1996: 60] menjelaskan bahwa berkenaan dengan Puasa, bahwa AI-Qur-an Suci (QS 2/Al-Baqarah: 184) telah mengatakan “La’allakum tattaquun” yakni ibadah puasa itu ditetapkan supaya di dalam jiwa manusia tertancap ketakwaan dan budi pekerti yang luhur.

Jadi, apabila orang mengerjakan puasa, tapi buah dari pada ibadah itu tidak tercapai maka hal itu maknanya niatnya tidak lurus, dan tidaklah ia mengerjakan puasa, melainkan penganiayaan pada diri sendiri dengan mengosongkan perut. Tuhan tidak membutuhkan dari manusia pengosongan perut.

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laku puasa bukan hanya asal lapar dan haus saja. Puasa memiliki realitas dan efek yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman.

Sudah menjadi fitrat manusia bahwa tambah sedikit yang dimakannya maka tambah tinggi derajat pensucian ruhani yang bisa dicapainya serta bertambah kapasitasnya untuk mendapatkan kasyaf [Malfuzat, vol. 9, h. 108110].

KESIMPULAN:

1. Puasa diperintahkan kepada orang-orang yang beriman.
2 Puasa itu dalam bahasa Arab disebut shoum berarti menahan diri, mengekang dan meninggalkan sesuatu. Sedangkan yang dimaksud menurut istilah ialah menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari disertai niat.
3. Sejarah menunjukkan bahwa puasa sudah diwajibkan sebelum Islam. Puasa dalam Islam sendiri baru diperintahkan pada tahun ke-2 Hirah.
4. Hikmah puasa adalah supaya orang yang berpuasa dapat meraih ketakwaan yaitu terpelihara dari keburukan rohani dan jasmani.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashir (Risalah Darul Barkat No. 2/12/1998). Empat Puluh Permata Hadis. Tangerang: Darul Barkat.
Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud [1996]. Apakah Ahmadiyah itu? Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud [1999]. “Tafsir Kabir” dalam “Falsafah Puasa dalam Berbagai Agama” dari At-Tafsiir Al-Kabiir (Bahasa Arab) Vol. II, halaman 365-379, diterjemahkan oleh Drs. Abd. Rozaq pada Majalah Bulanan Nur Islam Tahun 1, No. 8/Oktober & No. 9/September 1999.
Ahmad a.s., Hadhrat Mirza Ghulam. Malfuzat, vol. 9.
Ahmad r.h., Hadhrat Mirza Tahir (1992). Khutbah Idul Fithri di Islamabad, Inggris: 5 April 1992. Darsus No. 44/1992. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Alkitab (Al-Kitaab Al-Muqaddas) Arab-Indonesia (2003). Lembaga Alkitab Indonesia.
Ash Shiddieqy, Prof. DR. T.M. Hasbi (1990). Pedoman Puasa. Jakarta: Bulan Bintang.
Bik, Hudhari (1980). Tarjamah Tarikh Al-Tasyri Al-Islami [Sejarah Pembinaan Hukum Islam]. Indonesia: Darul Ikhya.
Farid, Malik Ghulam (Editor) [2014]. Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakbar: Neratja Press.
Muslim, Imam (bin Al Hajjaj Al Qusyairi An Naisaburi) [1981]. Terjemah Hadits Shahih Muslim I. Penerjemah: Fachruddin HS. Jakarta: Bulan Bintang.
Sabiq, Sayyid (1994). Fikih Sunnah Jilid 3. Bandung: Al Maarif.
The Holy Bible (1976). The Gideons International.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Artikel lain

Opini
Ahmad Nursalam

MENGAPA PERLU ADA AHMADIYAH?

Oleh: Dodi Kurniawan/Ketua Cabang Wanasigra Apa sih urgensi keberadaan Ahmadiyah dalam dunia Islam? Bukankah Ahmadiyah malah hanya menambah banyaknya golongan dalam Islam saja? Mari kita

Read More »