Oleh : Akhmad Faizal Reza
“Saya heran mengapa Tuhan tidak menurunkan lagi seorang Nabi ke dunia ini. Apakah perbedaan kualitatif antara masa Isa dengan masa Muhammad jauh lebih besar dari pada masa Muhammad dengan masa abad 20? Saya rindukan seorang Nabi yang bisa menjawab kemelut- kemelut idiil dalam “Islam” kini yang bisa berbicara dalam level internasional selain memiliki besluit internasional” (Ahmad Wahib, dalam Pergolakan Pemikiran Islam[1])
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan 66 pernah menulis, “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda.” Entah apakah Soe Hok Gie pernah bertemu dengan Ahmad Wahib. Namun keduanya memiliki persamaan, yakni sama-sama wafat di usia muda.
Ahmad Wahib adalah aktivis mahasiswa juga dan seangkatan dengan Gie. Hanya saja, Ahmad Wahib adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bersama dengan Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi, aktif di Lingkaran Diskusi Limited Group. Kedua orang teman Wahib ini kelak menjadi cendekiawan muslim yang mewarnai wajah Islam di tanah air.
Sayangnya, pada 31 Maret 1973, pemuda berusia 30 tahun itu tertabrak motor ketika keluar dari majalah Tempo, tempat ia bekerja sebagai jurnalis. Nyawanya tak tertolong, meskipun demikian ia meninggalkan warisan, yakni tulisan. Tulisan yang sesungguhnya berupa catatan harian. Sepeninggal Wahib, tulisan-tulisannya dikumpulkan oleh sejawatnya Djohan Effendi lalu dicetak menjadi sebuah buku berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam.” Sebuah buku yang mengundang banyak pro dan kontra hingga hari ini.
Namun, penulis tidak hendak menelisik lebih jauh tentang buku itu. Yang ingin penulis garis bawahi adalah torehan catatan di awal tulisan ini. Sebuah pertanyaan, atau bisa jadi merupakan kegelisahan Wahib mengapa Allah Ta’ala tidak mengirimkan seorang Nabi lagi untuk memperbaiki nasib umat ? Di sini Wahib seakan melakukan pembandingan. Dengan permasalahan yang sedemikian kompleks di abad ini ketimbang di abad ke-7, mengapa Allah Ta’ala tidak mengirimkan lagi utusan-Nya di zaman ini ?
Sayangnya, mungkin pencarian Wahib tidak sampai kepada Ahmadiyah. Apakah Wahib mengenal Ahmadiyah ? Kita tidak pernah tahu. Tapi kalau kita melihat teman-teman diskusinya, seperti Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi, keduanya begitu akrab dengan Ahmadiyah.
Jika saja Wahib mengenal Ahmadiyah, lontaran pertanyaan tersebut akan terjawab. Wahib wafat pada 31 Maret 1973. Ahmadiyah pada waktu itu sudah hampir setengah abad (48 tahun) di tanah air. Keresahan Wahib tentang sosok Nabi yang kedatangannya dinubuatkan oleh Rasulullah Saw sudah tergenapi di dalam diri Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, pendiri Ahmadiyah.
Sosok Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as adalah jawaban Tuhan akan keresahan umat Islam, tak terkecuali Wahib. Tuhan tidak berdiam diri melihat kondisi umat Islam yang terpuruk. Di masa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as diutus, yakni di paruh akhir abad ke-19, kondisi dunia Islam menurut Harun Nasution di bukunya “Pembaharuan dalam Islam” mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing, termasuk tanah Hindustan tempat kelahiran Beliau.
Tampil Membela Islam
Persekusi dan diskriminasi menjadi makanan sehari-hari. Bahkan, sosok Nabi Muhammad Saw menjadi sasaran caci maki dan cercaan yang teramat keji. Tidak ada yang berani tampil ke muka untuk membela kesucian Hadhrat Rasulullah Saw, selain Hadhrat Ahmad as. Pembelaan terhadap Islam dan sosok Rasulullah Saw yang dilakukan Hadhrat Ahmad as bahkan diakui oleh lawan-lawannya.
Alih-alih mengangkat senjata dan melakukan kekerasan. Jihad Beliau tak lain adalah pena. Melalui guratan penanya lahirlah kurang lebih 80 judul buku serta ratusan artikel demi membela junjungannya, Hadhrat Mustafa Muhammad Saw.
Di antara tulisan Beliau yang menonjol adalah “Barahin Ahmadiyah.” Buku ini menimbulkan semangat baru di kalangan kaum muslimin di seluruh Hindustan karena di dalamnya terdapat dalil-dalil yang kuat, tak terbantahkan oleh siapapun yang berisikan tentang kebenaran Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw. Jilid pertama hingga keempat terbit mulai tahun 1880 hingga 1884 masehi.
Salah seorang ulama kenamaan, Maulvi Muhammad Husein Batalwi mengulas tentang buku ini :
“Menurut hemat saya buku ini untuk masa sekarang dan dilihat dari segi kebutuhannya dewasa ini sangat hebat. Belum pernah ada buku yang sebagus ini ditulis dalam sejarah Islam sampai sekarang.”
Lekram dan Dowie
Dalam misi hidupnya sebagai sosok Imam Mahdi atau Masih Mau’ud yang dijanjikan, Hadhrat Ahmad as harus berhadapan dengan tokoh-tokoh degil yang tidak kapok-kapoknya mencaci Islam dan sosok Rasulullah Saw. Pun, lewat dalil dan argumen rasional tidak membuat mereka berhenti mengolok-olok. Akhirnya, Hadhrat Ahmad as mengeluarkan tantangan mubahalah atau perang do’a. Sekali lagi, yang Hadhrat Ahmad as lakukan bukanlah mengangkat senjata untuk memerangi pihak-pihak yang memusuhi Islam.
Beliau mengangkat tangan, meletakkannya ke wajah dan berdo’a keharibaan Allah Ta’ala meminta keputusan. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Pandit Lekram dan Alexander Dowie. Kesudahannya sudah kita ketahui dari sejarah. Keduanyan mati dalam keadaan mengenaskan dan bahkan pada kasus Dowie, Surat kabar terbitan Amerika Serikat, Boston Sunday Herald memuat fitur dua halaman berjudul ” Great is Mirza Ghulam Ahmad the Messiah.”
Seandainya Wahib menemukan Ahmadiyah, tentu ia tak jadi gelisah.
Penulis, anggota Anshar Cabang Bandung Tengah
Referensi :
Ahmad, Wahib.2012. Pergolakan Pemikiran Islam. Edisi Digital.Democracy Project.
[1] Hal.1