
Dalam perjalanan hidup, sering kali tujuan tidak bisa dicapai dengan langkah lurus. Ada kalanya seseorang harus menempuh jalan yang tampak berlawanan, namun justru di situlah strategi itu menemukan hasil terbaik. Filosofi ini hadir dalam banyak aspek kehidupan — mulai dari sepakbola, dunia militer, pendidikan, hingga praktik sehari-hari.
Almarhum Maulana H. Abdul Basit, Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terdahulu, pernah menegaskan hal tersebut dalam pidatonya pada Jalsah Salanah Nasional. Melalui siaran langsung Zoom, almarhum menyampaikan pesan yang kini kerap dikenang, “Salah satu strategi pertahanan dalam sepakbola adalah menyerang. Begitu juga untuk tarbiyat terbaik, strateginya adalah dengan bertablig.”
Pernyataan sederhana itu mengandung makna mendalam. Sama halnya dengan strategi sepakbola: tim yang sibuk menyerang akan membuat lawan kehilangan kesempatan untuk menggempur pertahanan. Atau seperti pesan Presiden Prabowo Subianto, “Kalau kita ingin damai, maka kita harus siap berperang.” Sebuah prinsip yang tampak kontradiktif, tetapi justru menjadi kunci agar kedaulatan dihormati.
Hal yang sama berlaku dalam dunia ilmu. Dengan mengajar, seorang guru tidak kehilangan ilmunya, melainkan justru memperdalam dan memperkuatnya. Begitu pula prinsip memberi: dalam pandangan sederhana, memberi akan mengurangi harta. Namun Islam mengajarkan, semakin banyak bersedekah, semakin terbuka pintu-pintu rezeki.
Dari filosofi-filosofi inilah, tablig dipahami sebagai sarana terbaik untuk tarbiyat diri. Melalui tablig, seorang Ahmadi dituntun untuk selalu memperbaiki akhlak, sebab setiap langkahnya membawa nama jemaat. Ia pun terdorong memperkaya ilmu, karena aktivitas tablig memerlukan wawasan agama dan pengetahuan umum yang luas. Lebih dari itu, tablig rutin akan memperluas jaringan relasi yang kelak menjadi jalan kemudahan dalam mencetak mubayin baru.
Dengan demikian, tablig tidak berhenti pada penyampaian pesan semata. Ia adalah latihan diri, sarana memperbaiki akhlak, memperdalam ilmu, dan memperluas ikatan sosial. Seorang anggota yang konsisten bertablig, sejatinya sedang melatih dirinya sendiri untuk selalu tumbuh, berubah, dan semakin dekat dengan nilai-nilai Islam yang sejati.
Tablig dan tarbiyat diri, pada akhirnya, bukanlah dua jalan yang terpisah. Keduanya menyatu, saling menguatkan, dan berjalan seiring menuju pribadi yang lebih baik.
Kontributor: Fadli Illahi.
Editor: Firmansyah.





